19 minute read

Tulisan ini masih bertemakan COVID-19, karena banyak sekali sisi yang bisa dibahas terkait dengan fenomena wabah ini secara matematis.

Kali ini saya mencoba untuk menjawab beberapa pertanyaan yang sering ada di WAG kita semuanya. Apa saja?

  1. Wabah ini kapan selesainya? Akan peak saat infected person berapa persen dari populasi Indonesia (atau Jakarta)?
  2. Kenapa banyak korban jiwa COVID-19 di Indonesia?

Pertanyaan Pertama

Saya pernah menyinggung mengenai pertanyaan ini di tulisan saya yang pertama terkait SIS model untuk COVID-19. Saya sarankan untuk bisa membacanya terlebih dahulu agar bisa lebih cepat catch-up dengan pembahasan saya ini.

Banyak pihak (baca: matematikawan lain) telah membuat berbagai macam model dengan berbagai macam cara. Mulai dari pendekatan deterministik seperti yang saya buat hingga pendekatan statistik. Namun perlu diperhatikan bahwa setiap model memiliki batasan walau itu adalah tools terbaik yang dimiliki kita saat ini untuk menggambarkan kondisi dan bahkan membuat prediksi.

Namun ada yang perlu saya garis bawahi. Khusus di Indonesia, saya berpikir bahwa membangun model berdasarkan curve fitting tidak bisa dilakukan. Kalaupun dilakukan bisa jadi akan cenderung bias.

Kenapa?

Pada awal penanganan COVID-19, pemerintah pusat hanya mampu melakukan tes sebanyak 1.700 tes dalam sehari. Setelah beberapa lembaga diperbolehkan untuk melakukan tes, kapasitas tersebut sudah naik. Apalagi dengan tambahan pemeriksaan dengan metode rapid test.

KONSEKUENSInya adalah terjadi lonjakan kasus positif setelah kapasitas pemeriksaan ditambah!

Jadi penambahan tinggi itu sejatinya adalah penambahan new reported cases bukan new infected cases.

Dari data yang saya ambil dari situs kawalcovid19, pada 1 April 2020 pukul 09.24 WIB kita bisa melihat grafiknya sebagai berikut:

Jika diperhatikan, lonjakan new reported cases terjadi setelah pemerintah mengizinkan lembaga lain untuk melakukan tes COVID-19 (setelah 16 Maret 2020). Lonjakan tinggi terjadi kembali saat rapid test mulai dilakukan sekitar seminggu yang lalu.

Salah satu alasan saya membuat model adalah ingin menggambarkan situasi dan mencoba memberikan solusi dari kondisi saat ini. Tidak untuk membuat prediksi karena ada satu hal yang paling penting untuk diketahui tapi tidak kita ketahui sampai saat ini.

Apa itu?

Berapa banyak I0?

Kenapa menjadi penting?

COVID-19 merupakan penyakit yang berasal dari Wuhan, China. Jika sekarang wabah tersebut ada di Indonesia, berarti ada orang sakit yang masuk ke Indonesia.

Masalahnya adalah, saat terjadi epidemi di China, kita tidak melakukan pembatasan penerbangan dan alur manusia masuk dari negara lain yang sudah terjangkit wabah tersebut.

Sudah lihat video penelusuran pasien positif asal Bekasi yang meninggal di Cianjur?

Hal ini menunjukkan bahwa COVID-19 bisa jadi sudah ada di Indonesia sebelum kasus 01 dan 02 diumumkan oleh presiden.

Dengan mengetahui I0, kita bisa melihat seberapa cepat penyebaran wabah ini. Oleh karena kita tidak tahu ada berapa banyak I0 yang ada di masyarakat. Akibatnya, kita tidak tahu posisi Indonesia sekarang di mana.

Apakah berada di awal kurva?

Baru mulai naik.

Apakah berada di tengah?

Mulai naik eksponensial.

Atau berada di akhir kurva?

Akan landai sebentar lagi.

Tanpa informasi I0 yang tepat (atau mendekati), kita akan sulit menghitung kecepatan penyebaran wabah. Namun demikian, kita masih bisa menghitung pada persentase berapa infected person ada di peak position dengan mengandalkan R0.

Saya coba lihat, hampir semua perhitungan model rekan-rekan matematikawan berada di kisaran 40% - 65% untuk peak position dari infected person (perhitungan model tanpa ada karantina atau physical distancing).

Jawaban Pertanyaan Kedua

Sebelum memulai pembahasan kedua ini, saya perlu nyatakan bahwa setiap korban jiwa ini memiliki nama, memiliki keluarga, memiliki kehidupannya sendiri. Jadi put your empathy please, this is not about number and statistics !. Kita sama-sama doakan agar para korban tersebut mendapatkan tempat terbaik dari Allah dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesehatan dan kesabaran. Aamiin

Oke, saya mulai yah:

Di Indonesia, banyak korban jiwa yang berjatuhan. Sebagaimana yang kita ketahui, hal yang membunuh adalah kondisi dan komplikasi yang datang bersamaan dengan COVID-19 ini.

Berdasarkan data yang saya ambil dari worldometers, death rates yang tinggi terjadi saat pasien telah memiliki kondisi kesehatan yang kurang baik.

Mari kita lihat data death rates per pagi ini pukul 07.00 WIB yang dihimpun di situs wordometers berikut:

Indonesia memiliki persentase tertinggi ketiga sekarang.

Jika kita lihat kembali di atas, kematian akibat COVID-19 disebabkan oleh kondisi dan komplikasi yang dimiliki oleh pasien.

Lalu, kenapa di Indonesia bisa setinggi itu?

Setidaknya ada dua hipotesa saya:

Hipotesa Pertama

Kualitas kesehatan individual di Indonesia relatif buruk.

Oleh karena COVID-19 menyerang sistem pernafasan, saya jadi menduga kondisi seperti TBC jadi hal yang berpengaruh. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa angka penderita TBC di Indonesia cukup tinggi di dunia.

Beberapa tahun lalu, istri saya divonis menderita TBC sehingga harus diobati selama 9 bulan padahal tidak ada gejala klinis sama sekali yang terlihat. Tapi hasil rontgen dan pemeriksaan oleh beberapa dokter spesialis paru menyatakan demikian.

Oleh karena itu, saya jadi berpikir mungkin ini adalah dugaan yang tepat. Bisa jadi banyak juga penderita TBC yang tidak mengetahui dirinya terjangkit TBC sehingga saat terpapar COVID-19 kondisinya jadi memburuk.

Ini baru TBC saja, belum kondisi lainnya seperti kardiovaskular, kanker, dan diabetes.

Tapi jika saya ambil data dari WorldBank:

Kita bisa lihat bersama, angka insiden TBC di Indonesia relatif sangat tinggi dibandingkan negara lain yang memiliki korban COVID-19 > 100 jiwa.

Tapi jika ini berkorelasi, seharusnya hal ini tidak akan terjadi untuk negara-negara Eropa yang relatif lebih sehat dan siap secara fasilitas.

Oke, sekarang kita lihat data lain terkait faskes dan tenaga kesehatan, didapatkan data sebagai berikut:

Sayangnya saya tidak menemukan angka perbandingan kardiovaskular, diabetes, kanker, dan kondisi lainnya yang berbahaya bagi penderita COVID-19.

Berdasarkan informasi terbatas di atas, mungkin hipotesa pertama saya menjadi lemah.

Lalu saya berpikir kembali, jangan-jangan korban jiwa di Indonesia ini dikarenakan oleh usia.

Kita tahu bahwa virus ini lebih berbahaya bagi orang yang sudah tua. Berdasarkan data yang dihimpun di webm.net saya dapatkan informasi bahwa semakin tua usia pasien COVID-19, maka peluang penyakit ini berbahaya juga semakin tinggi.

Mari kita bandingkan dengan kejadian di Indonesia berikut ini. Data saya dapatkan dari kawalcovid19 per 2 April 2020 pukul 11.00.

Pada rentang usia 50-59 tahun, ada 9 orang yang meninggal dari 115 kasus yang tercatat. Artinya case fatality rate (CFR) pada rentang usia ini adalah 7.83% lebih tinggi dibandingkan angka di webm.net tersebut.

Hal yang sama pun terjadi di rentang usia 60-69 tahun, ada 5 orang yang meninggal dari 55 kasus yang tercatat. Artinya CFR pada rentang usia ini adalah 9.09% masih relatif lebih tinggi dibandingkan angka di webm.net tersebut.

Indonesia masih memiliki angka rate yang lebih tinggi. Saya jadi mempertanyakan pertanyaan saya ini. Jangan-jangan bukan KENAPA RATE DI INDONESIA TINGGI? tapi:

Apakah kita sudah benar menghitung death rate di Indonesia?

Oleh karena itu, this new question lead me to a new hypothesis.

Hipotesa Kedua

Hipotesa kedua ini mungkin lebih provokatif tapi menurut saya masuk akal.

Berdasarkan informasi dan kalkulasi dari WHO, mortality rate COVID-19 adalah 3.4%. Sedangkan beberapa studi lainnya, secara nationwide di China menunjukkan angka sebesar 3.8%.

Coba kita lihat kembali density plot dari sebaran data mortality rate semua negara yang ada.

Distribusinya terlihat mirip pareto distribution atau lognormal distribution dimana hampir semua data berkumpul di sebelah kiri.

Kalau saya hitung,78% negara-negara yang ada di data tersebut memiliki rate berada di bawah angka WHO (3.4%).


Catatan terkait pembuktian distribusi lognormal atau pareto:

Saya bisa saja melakukan pengecekan apakah memang data rate ini memiliki distribusi pareto atau lognormal. Tapi dengan catatan lower bound dari data harus sangat kecil tapi tidak nol (near zero). Sedangkan data real-nya banyak negara yang memiliki mortality rate = 0%.

Pembuktiannya bisa dilakukan dengan menggunakan Cullen Frey Diagram, berikut adalah hasilnya:

Data tersebut bisa didekati dengan distribusi lognormal.


Oke, kita kembali ke pembahasan hipotesa saya.

Saya jadi berpikir menggunakan argumen di jawaban pertanyaan pertama dimana ada keterbatasan-keterbatasan yang dilakukan pemerintah dalam melakukan tes sehingga angka yang didapatkan adalah reported cases bukan real infected person.

Jadi berapa real infected person di Indonesia?

Per 2 April 2020, ada 157 orang yang meninggal akibat COVID-19.

Jika saya asumsikan death rates milik WHO bisa dijadikan acuan, maka angka real infected di Indonesia seharusnya:

Jadi expected infected person COVID-19 ada sekitar 4.617 orang.

Besar juga yah

Sekarang kita coba lakukan simulasi menggunakan rentang rate disebelah kiri garis merah (Indonesia) pada density plot.

Saya gunakan prinsip simulasi MonteCarlo dengan 9.000 kali pengulangan

Dari grafik di atas, saya memperkirakan bahwa real infected person di Indonesia berada di rentang antara 4.673 sampai 7.202 orang.

Jadi ada selisih ribuan orang yang belum dilaporkan ke pemerintah. Bisa jadi tidak dilaporkan karena gejala yang dialami sangat ringan sehingga bisa sembuh sendiri atau tidak perlu ke faskes atau tidak terdeteksi di faskes tingkat pertama.

Hal ini bisa menjadi kabar baik sekaligus buruk. Kenapa? Karena tanpa sadar justru non reported cases ini bisa membahayakan bagi orang sehat yang rentan terhadap COVID-19 ini.

UPDATE!

Setelah saya post tulisan ini, ternyata semalam saya mendengar berita mengenai berapa banya spesimen yang telah dites oleh tim Kemenkes. Saya kira per hari kita sanggup melakukan 1.700 tes sehari, ternyata tidak sampai angka segitu.

Coba lihat beritanya di sini.

Saya kutip dari detik:

  • 25 Maret 3.822 spesimen
  • 26 Maret 4.336 spesimen (+514)
  • 27 Maret 5.775 spesimen (+1439)
  • 28 Maret 6.266 spesimen (+491)
  • 29 Maret 6.534 spesimen (+268)
  • 30 Maret 6.663 spesimen (+129)
  • 31 Maret 6.777 spesimen (+114)
  • 1 April 7.193 spesimen (+416)

Ternyata benar dugaan saya. Angka reported cases segitu-gitu saja karena yang dites memang segitu saja.

Wallahu a’lam.

Jika ada yang mau didiskusikan, silakan drop me a message yah.

Stay healthy