5 minute read

Di suatu podcast, Raditya Dika pernah berujar:

“Jangan bekerja dengan idola” -Raditya Dika

Alasannya sederhana, saat seseorang bekerja dengan idolanya, ada kemungkinan orang tersebut akan “patah hati” karena idolanya ternyata tidak sesuai ekspektasi atau bayangan. Setelah saya ingat kembali, saya ternyata pernah memiliki pengalaman serupa. Bagaimana ceritanya?


Di akhir-akhir periode saya bekerja di perusahaan saya yang pertama, saya sering mendengar cerita tentang sepak terjang salah satu mantan direksi yang pernah bekerja di sana (untuk memudahkan cerita, kita sebut saja Pak N). Mulai dari tim field, data processing, dan research executive bercerita tentang sepak terjang positif Pak N selama bekerja di sana. Tak cuma cerita positif, saya juga mendapati berbagai cerita (yang kemudian saya validasi ke sana-sini) bahwa Pak N di akhir masa jabatannya dizalimi oleh direksi lain karena perbedaan cara pandang dan cara running operasional perusahaan.

Sebagai anak baru yang dijejali dengan cerita-cerita kepahlawanan, saya jadi mengidolakan beliau walau belum pernah sama sekali bertemu dan mengobrol. -pikir saya.

Singkat cerita, Pak N ternyata membangun another market research agency dan mengumpulkan beberapa senior di perusahaan saya yang pertama tersebut di sana. Beliau juga sedang mencari posisi research executive untuk ditandem dengan seorang senior research manager (yang tak kalah saya idolakan juga). Qodarullahu, jalan hidup saya bersimpangan dengan beliau sehingga saya bisa join perusahaan beliau.

Hal tersebut merupakan pengalaman baru bagi saya. Bekerja di start up yang hanya berisi empat orang inti saja, kami ternyata bisa meng- handle berbagai market research project berskala nasional dari klien-klien nasional dan global.

Di bulan-bulan pertama, saya masih amaze dengan cara beliau run the company dan cara beliau menemukan solusi dari berbagai masalah yang ditemui. Hal ini adalah pelajaran mahal yang saya dapatkan dan berbekas dalam untuk karir saya berikutnya.

Namun, yang namanya manusia pasti diciptakan tak mungkin tak bercela.

Bagaimana saya menyikapinya saat itu? Saya akui sempat muncul rasa kecewa dan itu reaksi yang manusiawi menurut saya. Saat berdiskusi dengan bapak senior research manager, saya diingatkan bahwa jangan mencintai dan membenci orang berlebihan.

Sewajarnya saja Kang. -begitu kata beliau.

Setelah itu, saya berdamai dengan diri saya sendiri dengan cara mengkalibrasi ekspektasi yang saya miliki. Salah satu cara yang saya lakukan adalah dengan memindahkan rasa idola yang tak logis menjadi respect.


Dari pengalaman saya tersebut, saya menjadi berhati-hati saat ada calon team member yang hendak join dengan alasan hendak bekerja dan belajar dari Mas Ikang.

Saya takut tak bisa memenuhi ekspektasi bahkan mengecewakan orang tersebut.


if you find this article helpful, support this blog by clicking the ads.