13 minute read

Sebelum adanya pandemi, kami market researcher biasanya melakukan survey secara langsung (tatap muka). Interviewer dibekali dengan kuesioner terstruktur. Tentu dalam membuat kuesioner tersebut, sudah banyak proses yang kami lewati. Mulai dari menentukan pertanyaan yang in line dengan permasalahan riset, sampai question route yang masuk logika.

Pada saat pandemi ini, tidak mungkin dipaksakan survey dilakukan secara tatap muka. Akibatnya, saya sering menemukan banyak sekali survey yang dilakukan secara online menggunakan tools seperti survey monkey, Google Forms, dan lainnya.

Sayangnya, beberapa dari survey tersebut sepertinya bukan dibuat oleh market researcher. Kenapa?

Karena saya sering menemukan kesalahan-kesalahan kecil yang fatal di kuesioner tersebut.


Memangnya kenapa sih kalau kuesionernya salah?

Apakah kamu pernah mendengar istilah:

Garbage in, garbage out!

Perlu disadari bahwa tujuan dari survey adalah untuk mendapatkan informasi dan insight yang bisa berguna bagi bagi user-nya. Bagaimana kita bisa mendapatkan informasi yang reliable jika data yang didapatkan kotor?

Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa hal yang bisa menyebabkan data yang kita dapatkan menjadi kotor, yakni:

  1. Kuesioner yang buruk.
  2. Pelaksanaan fieldwork yang buruk.

Kali ini saya hendak membahas tentang bagaimana kita bisa membuat kuesioner survey yang lebih baik. Pembahasan terkait pelaksanaan fieldwork akan saya bahas di kemudian hari. Oke saya mulai ya.


Kuesioner yang baik

Kuesioner yang baik adalah kuesioner yang sejalan dengan tujuan survey dan tidak menimbulkan bias pada saat pengisiannya. Oleh itu, berikut adalah beberapa panduan dasar yang bisa digunakan untuk membuat kuesioner:

  1. Identity bias
    • Ada kalanya kita melakukan survey untuk kepentingan sales marketing sehingga harus menanyakan seputar brand tertentu. Ada baiknya kita memperkenalkan diri kita sebagai independen researcher kepada responden. Kalaupun survey dilakukan secara online, kita tetap harus memperkenal diri pada bagian depan kuesioner online.
    • Kenapa harus independen researcher? Tujuannya adalah untuk menghindari bias yang mungkin muncul akibat identitas. Sebagai contoh:
      • Anda sedang mewawancarai seorang responden. Di awal wawancara, Anda memperkenalkan diri sebagai orang yang berafiliasi dengan brand tertentu.
      • Saat tiba pertanyaan terkait brand tersebut, sebagian responden akan merasa canggung untuk memberikan jawaban atau penilaian yang jujur jika memang dinilai buruk.
  2. Tipe pertanyaan dan jawaban
    • Dalam kuesioner, ada berbagai tipe pertanyaan yang sering digunakan seperti:
      • Single answer: responden hanya boleh memilih satu jawaban.
      • Multiple answer: responden boleh memilih lebih dari satu jawaban.
      • Open question: responden bisa menjawab dengan bebas (tanpa ada pilihan jawaban).
      • Ranking atau order: responden disuruh untuk mengurutkan atau membuat ranking dari pilihan yang ada.
    • Masing-masing tipe pertanyaan memiliki tujuan dan cara analisa yang berbeda-beda.
    • Pastikan bahwa informasi yang kita butuhkan sudah sesuai dengan tipe pertanyaan yang ditanyakan.
    • Khusus survey yang dilakukan online, ada baiknya beberapa pertanyaan sudah dibuatkan pilihan jawabannya. Contohnya:
      • Saya sering menemukan pertanyaan kota asal responden (atau kabupaten bahkan sampai level kecamatan) dibuat dalam bentuk open question. Konsekuensinya adalah inkonsistensi penulisan jawaban yang bermuara pada rumitnya menganalisa karena dibutuhkan data preparation yang lebih lama.
  3. Sensitive industry
    • Apa maksudnya sensitive industry? Biasanya, kita berharap agar responden yang kita survey adalah masyarakat umum (orang awam) bukan seorang expert. Oleh karena itu, kita perlu memastikan tidak ada expert yang diwawancarai.
    • Contoh paling mudah adalah saat saya hendak melakukan survey terkait media habit, saya perlu mem-filter beberapa profesi berikut ini:
      • Orang yang bekerja di media massa (TV, radio, media online, koran, dll).
      • Selebgram, Youtubers, TikTokers, dll.
    • Contoh lainnya adalah saat saya hendak melakukan survey terkait habit hidup sehat, saya perlu mem-filter beberapa profesi berikut ini:
      • Ahli gizi.
      • Tenaga kesehatan, seperti dokter, perawat, bidan, dll.
      • Atlit, gym instructor, dll.
  4. Hindari pertanyaan normatif
    • Kita tentu ingin mendapatkan jawaban yang jujur dari responden sehingga bisa mendapatkan gambaran real yang ada di market. Oleh karena itu, kita peru menghindari pertanyaan yang bersifat normatif (baik-buruk, benar-salah).
  5. Mulai dari pertanyaan umum
    • Untuk menghindari bias akibat brand (sama seperti poin pertama), ada baiknya kita memulai kuesioner dengan pertanyaan yang bersifat umum atau kategori dari brand tersebut.
    • Sebagai contoh:
      • Saat saya hendak melakukan survey terkait brand Aqua, saya tidak langsung bertanya terkait brand tersebut.
      • Saya akan mulai dengan pertanyaan seputar kategori air minum dalam kemasan atau air mineral bermerek.
      • Setelah itu baru kita masuk ke pertanyaan brand.
  6. Question route
    • Ini adalah bagian yang penting dalam menyusun pertanyaan di kuesioner. Kita harus pastikan bahwa responden mendapatkan pertanyaan yang tepat sesuai dengan jawaban yang ia berikan sebelumnya.
    • Sebagai contoh, saya sering mendapatkan kuesioner dimana semua responden mendapatkan pertanyaan yang serupa padahal jawaban yang diberikan berbeda-beda. Misalkan:
      • Ada pertanyaan sebagai berikut:
        1. Apakah Anda pernah mengkonsumsi produk X?
          • Ya
          • Tidak
        2. Bagaimana pendapat anda terhadap produk X?
          • ______________________________________ (open question)
      • Seharusnya responden yang menjawab tidak pada pertanyaan pertama, tidak perlu ditanyakan pertanyaan kedua karena responden tidak pernah mengkonsumsi produk X tersebut.
      • Tapi pada kenyataannya, saya sering mendapatkan survey yang tidak memiliki routing seperti itu.
  7. Pertanyaan yang sulit
    • Perhatikan bahwa kita hanya menanyakan pertanyaan yang bisa dijawab oleh responden.
    • Kita harus hindari penggunaan istilah-istilah yang tidak dipahami oleh responden.
    • Sebisa mungkin, gunakan istilah dalam Bahasa Indonesia. Jika tidak memungkinkan, siapkan definisi yang bisa mudah dipahami oleh responden.
  8. Lama survey
    • Siapa sih yang mau diwawancarai lama-lama?
    • Oleh karena itu, kita harus pastikan bahwa lamanya wawancara (atau panjangnya kuesioner) tidak terlalu lama.
    • Caranya adalah dengan menelaah kembali pertanyaan mana saja yang masuk ke dalam:
      • Must-know question: merupakan pertanyaan inti yang diharapkan bisa menjawab tujuan survey dan permasalahan real yang dihadapi.
      • Nice-to-know question: merupakan pertanyaan pendukung yang bisa memperkaya analisa dari survey.
    • Kita harus pastikan bahwa semua pertanyaan must-know sudah ter-cover. Lalu silakan pilot wawancara terlebih dahulu.
    • Jika masih cukup waktu, silakan tambahkan pertanyaan nice-to-know.
    • Sebenarnya tidak ada limitasi durasi survey yang baku. Semua disesuaikan dengan kebiasaan dan pengalaman. Menurut pengalaman saya, durasi maksimal survey berbeda-beda tergantung cara wawancaranya. Misalkan:
      • Wawancara tatap muka, maksimal 30 - 45 menit.
      • Wawancara by phone, maksimal 10 menit.
      • Online survey, maksimal 5 menit.
    • Jika melewati durasi tersebut, saya sering menemukan responden jenuh dan cenderung menjawab ngasal agar cepat selesai.
  9. Duplikasi responden
    • Masalah ini sering muncul pada online survey. Bagaimana kita memastikan bahwa seorang responden hanya mengisi satu kuesioner saja (tidak mengisi berulang-ulang).
    • Beberapa online survey tools memiliki fitur yang bisa mendeteksi hal ini dengan cara mengaktifkan cookies to prevent duplicate responses. Namun cara ini hanya bisa mencegah responden mengisi berulang kali dengan gadget yang sama. Masih ada kemungkinan responden mengisi berulang kali dengan gadget yang berbeda-beda.

Saran saya, jika kita sudah menyusun draft kuesionernya, segera lakukan pilot wawancara kepada 2 - 3 orang responden. Perhatikan dengan seksama bagaimana reaksi responden terhadap pertanyaan yang ada dan durasi wawancara. Feedbacks yang mungkin muncul bisa untuk memperbaiki kuesioner final kita kelak.

Demikian panduan singkat ini, semoga membantu.


if you find this article helpful, support this blog by clicking the ads.