6 minute read

Demo buruh, mahasiswa, dan beberapa elemen masyarakat lain yang berlangsung beberapa hari belakangan dalam rangka menolak pengesahan UU Cipta Kerja tampaknya akan berakhir di Mahkamah Konstitusi. Dari beberapa berita yang saya baca, ada individual dan organisasi buruh yang sudah mendaftarkan judicial review ke MK.


Mahkamah Konstitusi berdiri pada 18 Agustus 2003 dan bertugas sebagai pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Lalu apa pembeda MA dengan MK?

Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah:

  1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
  3. Memutus pembubaran partai politik.
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  5. Memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Sejak mulai berdiri hingga saat ini, tercatat ada 6 orang yang menjadi ketua MK.

Secara organisasi, hakim konstitusi hanya berisikan 9 orang (termasuk ketua MK), yang sistem seleksinya:

  • 3orang diajukan oleh DPR.
  • 3 orang diajukan oleh Presiden.
  • 3 orang diajukan oleh MA dengan penetapan presiden.

dengan masa kerja selama 5 tahun.


Dari paparan di atas, jadi sudah jelas bahwa Judicial Review Undang-Undang hanya sebagian tugas MK selain tugas-tugas yang lain.

Sekarang, berbekal data yang telah saya scrape, mari kita lihat beberapa temuan berikut.

Banyaknya Undang-Undang yang Diuji

Berdasarkan data yang saya scrape per 14 Oktober 2020 pukul 20.05, sejak berdiri hingga saat ini, MK sudah melakukan pengujian terhadap 709 UU.

Artinya, rata-rata ada 41.7 buah UU yang diuji per tahunnya.

Sebuah angka yang lumayan menurut saya. Jika begitu, saya malah jadi mempertanyakan bagaimana kinerja si pembuat UU sampai-sampai digugat terus hasilnya di MK.

Pada tahun 2012 dari data yang ada, tertulis tidak ada UU yang diuji. Ada beberapa kemungkinan:

  1. Memang demikian adanya (tidak ada sama sekali).
  2. MK sedang sibuk mengerjakan tugas kewajibannya yang lain.
  3. MK masih menguji UU yang diregistrasi pada tahun lalu yang belum diselesaikan (semacam PR tahun lalu).

Saya melihat tren positif dari grafik di atas. Semakin meleknya masyarakat akan hukum dan keberadaan MK, sekarang mereka bisa menguji kembali UU yang dihasilkan pemerintah dan DPR.

Seharusnya bapak dan ibu anggota dewan bisa aware dengan data ini. Lagian secara kinerja, DPR masih sedikit menghasilkan UU. Sumber:

  1. Katadata.co.id.
  2. Kompas.

Putusan Perkara

Sekarang mari kita lihat bersama, bagaimana tren putusan perkara terkait judicial review UU setiap tahunnya sebagai berikut:

Kalau Anda berpikir kenapa putusan perkara bisa lebih banyak dibandingkan banyaknya UU yang diuji, hal ini bisa terjadi karena dalam UU itu kan ada banyak pasal di dalamnya.

Seketika saya jadi berpikir, kinerja 9 hakim ini luar biasa beratnya…

Dari putusan perkara itu, ada beberapa pengelompokkan yakni:

  1. Kabul: permohonan penggugat dikabulkan oleh MK.
  2. Tolak: permohonan penggugat ditolak oleh MK.
  3. Tidak diterima: MK tidak menerima permohonan pemohon.
  4. Ditarik kembali: pemohon menarik gugatan.
  5. Gugur.
  6. Tidak berwenang: MK tidak berwenang mengadili permohonan penggugat.

Berikut visualisasi dari datanya:

Secara persentase, dalam 10 tahun terakhir amar putusan dikabulkan masih lebih rendah dibandingkan putusan ditolak. Tapi kalau dari real number berikut visualisasinya:

Pada rentang 2010 hingga 2018, tren amar putusan dikabulkan cenderung stabil di angka rata-rata 22.3 putusan pertahunnya. Menarik melihat 2 tahun ke belakang di mana putusan dikabulkan relatif sangat sedikit.

Apakah kualitas permohonan yang kurang baik atau memang UU yang digugat sudah lebih baik?

Bagaimana dengan judicial review UU Cipta Kerja?

Mari kita saksikan bersama kisahnya dalam beberapa bulan ke depan.