Perbedaan Price Elasticity dan Price Sensitivity dalam Market Research
Setidaknya saya sudah menuliskan dua tulisan terkait study price elasticity, pertama tentang konsep perhitungannya dan limitasinya. Biasanya price elasticity itu dilakukan pada bidang sales research karena data primer yang dibutuhkan itu merupakan data sales qty saat suatu produk berada pada tingkat harga tertentu.
Tujuan utama price elasticity adalah menentukan suatu indeks elastisitas yang bisa memprediksi kenaikan / penurunan sales qty saat harga suatu produk berubah. Dari indeks tersebut, kita juga bisa menentukan harga optimal yang bisa memaksimalkan omset.
Dalam dunia market research, salah satu studi terkait harga yang paling sering dilakukan adalah price sensitivity. Studi ini bisa dilakukan pada:
- Pengembangan produk baru yang belum launching di pasaran.
- Evaluasi terhadap produk existing yang ada di pasaran.
Tujuan utama dari price sensitivity ini adalah menentukan harga terbaik berdasarkan persepsi konsumen.
Sebagai contoh, misalkan suatu project market research sedang mensurvey market acceptance untuk suatu produk minuman brand A yang belum beredar di pasaran. Produk minuman A ini memiliki fitur dan klaim sebagai berikut:
Minuman brand A adalah minuman kopi kekinian rasa durian yang enak. Minuman ini rendah lemak, rendah gula, tinggi multivitamin, dan mengandung isotonik. Minuman ini cocok untuk menemani dan menunjang aktivitas kamu sehari-hari.
Responden akan diberikan informasi fitur dan klaim di atas termasuk juga rancangan (prototype) kemasan produk minuman A.
Setelah membaca dan melihat dengan detail, responden kemudian akan ditanyakan 4 set pertanyaan, yaitu:
- Berapa tingkat harga yang termurah sehingga Anda mau bayarkan untuk membeli produk A?
- Berapa tingkat harga yang termurah tetapi saking murahnya Anda tidak mau membeli produk A? (Karena Anda akan concern terhadap kualitas produk dengan harga semurah itu)
- Berapa tingkat harga yang termahal tapi Anda masih mau bayarkan untuk membeli produk A?
- Berapa tingkat harga yang termahal sehingga Anda tidak mau membeli produk A?
Perlu diperhatikan bahwa responden tidak diwajibkan pernah mencicipi produk yang dirisetkan. Kita cukup mendapatkan jawaban berdasarkan persepsi responden. Tapi jika responden pernah mencicipi produk yang disurvey, jawabannya tentu lebih baik. Oleh karena itu, biasanya akan ada variabel marker sebagai penanda responden mana saja yang pernah dan tidak pernah agar saat analisa bisa di-cross.
Dari jawaban yang diberikan oleh responden, kita akan menghitung cummulative percentage dari keempat pertanyaan tersebut. Setelah itu, kita akan membuat plot-nya seperti berikut ini:
Jika kita lihat linechart di atas, warna:
- Hijau menandakan jawaban responden terhadap tingkat harga termurah sehingga membeli produk.
- Merah menandakan jawaban responden terhadap tingkat harga termurah tapi akibatnya mereka tidak mau membeli produk.
- Kuning menandakan jawaban responden terhadap tingkat harga termahal tapi mereka masih mau membeli produk.
- Biru menandakan jawaban responden terhadap tingkat harga termahal sehingga mereka tidak mau membeli produk.
Dari informasi di atas, kita bisa menyimpulkan beberapa hal seperti:
- Harga optimal adalah titik harga perpotongan antara garis hijau dan kuning.
- Area atau range harga yang masih bisa diterima oleh konsumen adalah area antara: - Perpotongan garis Merah dan Kuning. - Perpotongan garis Hijau dan Biru.
Perlu saya tekankan sekali lagi bahwa price sensitivity adalah mutlak berdasarkan persepsi dari konsumen, sehingga ada kemungkinan hasil risetnya akan bertolak belakang dengan kondisi real yang ada di lapangan pasca survey dilakukan. Oleh karena itu, kita bisa siasati dengan melakukan metode survey yang proper dan menginfomasikan secara detail fitur produk kepada konsumen.
if you find this article helpful, support this blog by clicking the ads