7 minute read

Tahun lalu, saya sempat menjelaskan mengenai price elasticity. Suatu analisa regresi linear sederhana yang memodelkan kausalitas (sebab akibat) antara harga dengan sales quantity suatu produk.

Saya sendiri sering menggunakan analisa ini untuk pekerjaan market riset di kantor.

Salah satu asumsi yang mendasari analisa ini adalah:

Jika harga semakin mahal, maka secara logika sales qty akan menurun.

Atau dengan kalimat matematisnya: ada korelasi kuat negatif antara harga dengan sales qty.

Oleh karena itu, salah satu langkah terpenting adalah memastikan harga dan sales qty memiliki data yang cukup untuk bisa dihitung korelasinya (pearson correlation).


Kenapa saya justru korelasi padahal yang mau dilakukan adalah regresi (kausalitas)?

Jawabannya sederhana:

Nilai korelasi yang kuat antara harga dan sales qty (misal saya notasikan sebagai R) akan menghasilkan model regresi linear yang kuat juga. Hal ini tergambar dari nilai R-square (R^2) yang baik.

Nilai korelasi Pearson jika dikuadratkan akan sama dengan nilai R-squared.

Jadi ini adalah screening awal saya dalam membuat model antara harga dan sales qty.

Saya pernah menuliskan materi terkait korelasi di sini.


Lantas bagaimana jika korelasi yang didapatkan bernilai positif?

Saat saya menemukan ada produk dengan nilai korelasi positif (dan juga kuat), ada dua hal yang terlintas di pikiran saya, yakni:

  • Apakah semakin mahal produknya, sales qty malah semakin tinggi? Kalau begitu kita buat mahal saja produknya agar makin mendapatkan profit.
  • Pasti ada yang salah dengan datanya. Kalau begini, produk tersebut tidak bisa dan tidak perlu dianalisa lebih lanjut.

Data seperti itu jangan buru-buru ditinggalkan!

Ternyata saat kita menemukan data yang memiliki korelasi kuat positif seperti ini, kita jangan buru-buru untuk tidak menganalisanya. Setidaknya kita bisa melihat historikal datanya terlebih dahulu dan melakukan investigasi atas data tersebut.

Bingung?

Oke saya jelaskan dengan kasus real berikut yah!


Kompetisi Optimization Tahap II

Setelah selesai kompetisi tahap pertama kemarin, kami melanjutkan mengadakan kompetisi tahap II. Berbekal data real dari salah satu market place rekan-rekan mahasiswa disuruh menghitung price paling optimal yang bisa ditawarkan ke konsumen.

Cara menghitung price optimal didasarkan pada model regresi price elasticity. Semua berjalan dengan baik hingga ada satu merek minyak goreng XYZ memiliki korelasi positif sebesar 0.25.

Jika saya buat model regresinya, berikut adalah hasilnya:

Dengan hasil tersebut wajar jika kita mengatakan ada yang aneh dengan data tersebut. Tapi jika data tersebut kita plot terpisah menjadi dua:

  1. sales qty per waktu.
  2. harga per waktu.

Kita akan dapatkan hasil sebagai berikut:

Terlihat ada strategi pricing yang dilakukan oleh merek minyak goreng XYZ ini.

Q1 - Q3

Di awal tahun (Q1), mereka sempat menaikkan harganya sehingga mengakibatkan sales qty-nya menurun. Tapi saat mereka menurunkan harganya perlahan (namun tetap di atas harga di awal tahun) di Q2 dan Q3, sales qty mereka juga perlahan naik. Jadi ada kesan kepada konsumen seolah-olah harga turun.

Q4

Lalu pada Q4 ada anomali saat harganya naik tapi sales qty juga meningkat. Kenapa hal ini terjadi?

Melihat single data seperti ini mungkin akan membuat kita bingung kenapa hal ini terjadi.

Tapi setelah saya melihat data harga yang ada di market minyak goreng kemasan sejenis. Ternyata harga yang ditawarkan oleh kompetitor minyak goreng XYZ juga memiliki tren yang mirip (kompetitor juga menaikkan harganya pada Q4).

Tampaknya tidak ada pilihan lain bagi konsumen untuk menerima harga baru tersebut.


Kesimpulan

Kita tidak bisa mengandalkan hanya satu analisa price elasticity. Ada bainya kita juga melihat historical price yang terjadi. Selain itu ada baiknya jika kita memasangkan data produk tertentu dengan data lain seperti data kompetitor agar mendapatkan analisa yang lebih konklusif dan holistik.


if you find this article helpful, please support this blog by clicking the ads.